Dubes Belanda tentang SBY dan Irfan Bachdim
Penundaan kunjungan SBY ke Belanda tahun lalu tidak sampai mengganggu hubungan bilateral.
Jum'at, 11 Maret 2011, 08:22 WIB
Renne R.A Kawilarang
Duta Besar Belanda, Tjeerd Feico de Zwaan (VIVAnews / Renne Kawilarang)
VIVAnews - Duta Besar Belanda Tjeerd de Zwaan hakulyakin bahwa hubungan antara negaranya dengan Indonesia telah mengakar sangat kuat. Maka, batalnya kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Belanda pada tahun lalu, misalnya, dinilai de Zwaan tidak akan sampai mengganggu hubungan kedua bangsa.
"Kita jangan terfokus semata-mata pada isu penundaan kunjungan itu karena indikator hubungan kedua negara tidak hanya dilihat pada kunjungan kenegaraan," kata de Zwaan dalam perbincangan dengan wartawan
VIVAnews,
Renne Kawilarang, di Kedutaan Besar Belanda di Jakarta, Kamis, 10 Maret 2011.
De Zwaan juga menegaskan Belanda tidak sekalipun mengakui eksistensi kelompok separatis Republik Maluku Selatan (RMS). Aktivis kelompok itulah yang dinyatakan menggagalkan kunjungan Yudhoyono ke Belanda pada Oktober 2011. Ketika itu, mereka mengajukan gugatan kepada pengadilan di Den Haag untuk menangkap presiden Indonesia itu karena kasus-kasus pelanggaran HAM. Namun pengadilan menolak gugatan tersebut.
"Pemerintah Belanda telah menegaskan dua hal: pertama kami mengakui persatuan dan kesatuan nasional Indonesia. Kedua, Belanda juga menegaskan tidak mengakui ada kelompok bernama RMS," kata de Zwaan. Kendati belum menetapkan jadwal baru, dia yakin bahwa pada saatnya nanti kedua pemerintah akan menyiapkan kembali kunjungan bersejarah Yudhoyono ke Belanda.
Diplomat senior kelahiran Utrecht itu juga menyoroti bahwa hubungan kedua bangsa telah berlangsung erat di berbagai sektor, mulai dari ekonomi, perdagangan, kebudayaan, hingga sepakbola.
De Zwaan mengingatkan bahwa sepakbola pun mempererat hubungan Indonesia - Belanda. Banyak individu dari Belanda yang berminat kepada sepakbola di tanah air. Salah satunya adalah Irfan Bachdim, pemain blasteran Indonesia-Belanda yang pulang kampung untuk meniti karir sebagai pesepakbola profesional.
"Dalam perjalanan pulang ke rumah dari kedutaan, saya sering melihat foto dia dalam suatu papan iklan yang besar untuk suatu produk," ujar de Zwaan terkesan.
De Zwaan mulai bertugas di Indonesia pada 21 September 2010. Sebelumnya, dia menjadi Dubes di sejumlah negara, yang dikenal sebagai "zona panas," yaitu Mesir, Pakistan, dan terakhir Afganistan.
Berikut petikan wawancara dengan de Zwaan.
Belanda sejak Oktober 2010 memiliki pemerintah baru di bawah pimpinan Perdana Menteri Mark Rutte. Mengingat bahwa PM Rutte berasal dari partai yang berbeda dengan partai yang berkuasa sebelumnya, apakah Anda melihat perubahan signifikan kebijakan luar negeri Belanda, termasuk dalam hubungannya dengan Indonesia?
Saya kira tidak ada perubahan. Berdasarkan sudut pandang sejarah dan tradisional, bangsa Belanda memiliki pola pikir bergerak ke luar
(international minded).
Ini bisa dilihat dari posisi geografis dan ukurannya negaranya, yaitu bahwa Belanda sejak lama menaruh fokus pada ruang lingkup internasional. Faktanya, Belanda merupakan eksportir ketiga terbesar produk pertanian dan menempati peringkat delapan daftar eksportir terkemuka untuk segala produk di dunia.
Pemerintah yang baru pun menaruh keyakinan kuat untuk menjalin kemitraan dengan berbagai negara di dunia, terutama yang menyangkut keterkaitan antara sektor perdagangan dan pembangunan. Kabinet sekarang menaruh perhatian yang besar ke Asia, Asia Tenggara atau ASEAN, hingga ke Indonesia.
Seberapa penting posisi Indonesia bagi kepentingan luar negeri Belanda di bawah pemerintahan baru saat ini?
Indonesia sejak dulu merupakan mitra yang alamiah dan strategis bagi Belanda dengan didasari beberapa faktor: Indonesia tentu saja memilik profil yang menonjol di kawasan. Apalagi negara Anda tahun ini menjadi Ketua ASEAN [Perhimpunan Bangsa se Asia Tenggara].
Kami juga melihat peran berpengaruh Indonesia di APEC [Forum Kerjasama Ekonomi Asia Pasifik] dan ASEM [Forum Kerjasama ASEAN dan Uni Eropa]. Tentu saja Indonesia kini mendapat perhatian yang penting karena perkembangan domestiknya, contohnya dalam upaya memperbaiki demokrasi dan penegakan hak asasi manusia (HAM).
Belanda menaruh keyakinan kuat bahwa Indonesia punya peran yang menentukan di kawasan. Di tingkat bilateral kami gembira telah membina hubungan yang kuat dengan Indonesia.
Perkembangan-perkembangan itu sejalan dengan kebijakan luar negeri Belanda yang melihat ke depan
[forward-looking] dan fokus pada perdagangan dan bisnis. Selain itu kedua negara juga bekerja sama di forum-forum global seperti di Perserikatan Bangsa-bangsa [PBB].
Sebagai anggota Uni Eropa, Belanda merupakan pintu masuk bagi kawasan itu dan ini menjadi manfaat bagi banyak negara, termasuk Indonesia. Sebagai contoh, maskapai penerbangan Garuda Indonesia tahun lalu membuka kembali jasa penerbangan ke Eropa dengan memilih Belanda sebagai tujuan perintis.
Di bidang perdagangan, kami melihat Indonesia sebagai salah satu pintu masuk utama ke kawasan Asia. Sebaliknya, pebisnis Indonesia bisa memanfaatkan kota pelabuhan utama di Belanda, Rotterdam, sebagai gerbang masuk ke Eropa.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Oktober 2010 menunda kunjungan kenegaraan ke Belanda setelah aktivis kelompok separatis Republik Maluku Selatan (RMS) mengajukan gugatan hukum kepada pengadilan di Den Haag untuk menangkap presiden atas kasus-kasus pelanggaran HAM. Walau pengadilan sudah menolak gugatan itu, namun hingga kini belum terlihat tanda-tanda adanya kunjungan presiden ke Belanda. Bagaimana Belanda menanggapi penundaan kunjungan itu?
Pemerintah Belanda telah menyampaikan penyesalan bahwa presiden Indonesia terpaksa menunda kunjungan. Namun, saya tegaskan, kedua pemerintah sepakat bahwa keputusan [presiden] menunda kunjungan ke Belanda tidak akan berpengaruh pada hubungan kedua negara. Ini karena hubungan kedua negara sudah berlangsung erat sejak lama sehingga tidak sampai terganggu atas isu [penundaan kunjungan] itu.
Apakah kedua pemerintah sudah menetapkan jadwal baru atas kunjungan yang tertunda itu?
Belum, namun itu tidak mengherankan. Perlu diingat bahwa kunjungan resmi kepala negara butuh waktu yang cukup lama untuk melakukan persiapan dan pengaturan. Namun, saya tegaskan bahwa kontak antarpemerintah terus berlangsung dan saya yakin bahwa pada waktunya nanti kedua negara akan sepakat untuk menjadwalkan kembali kunjungan Presiden Yudhoyono ke Belanda.
Jadi menurut Anda sulit terwujud untuk menjadwal ulang kunjungan Presiden Yudhoyono ke Belanda tahun ini?
Bila memperhatikan alasan-alasan praktis, saya tidak melihat hal itu bisa dilakukan tahun ini. Namun kita jangan terfokus semata-mata pada isu penundaan kunjungan itu karena indikator hubungan kedua negara tidak hanya dilihat pada kunjungan kenegaraan.
Bagaimana sikap pemerintah Belanda atas keberadaan kelompok Republik Maluku Selatan?
Pemerintah Belanda telah menegaskan dua hal: pertama kami mengakui persatuan dan kesatuan nasional Indonesia. Kedua, Belanda juga menegaskan tidak mengakui ada kelompok bernama RMS.
Apakah Anda melihat bahwa penundaan kunjungan Presiden Yudhoyono berpengaruh pada program-program bilateral yang telah disepakati kedua pemerintah?
Saya senang untuk mengutarakan kembali bahwa isu penundaan kunjungan itu tidak berpengaruh bagi hubungan kedua negara. Komunikasi dan kegiatan harian yang dilakukan pemerintah dari kedua negara menunjukkan bahwa hubungan Indonesia dan Belanda telah berjalan kuat.
Setelah penundaan kunjungan itu, mantan Menteri Luar Negeri Indonesia, Hassan Wirajuda, mengunjungi Belanda pada November tahun lalu. Beliau saat itu diundang untuk menyampaikan pidato pembuka dalam suatu forum.
Bulan lalu, Februari 2011, kami menyambut kunjungan Walikota Rotterdam ke Jakarta. Kami kini menanti kunjungan Jaksa Agung Belanda ke Indonesia pekan depan untuk menghadiri suatu konferensi internasional dan bertemu koleganya di Indonesia.
Selain itu, akan ada pertemuan rutin pejabat senior Kementrian Luar Negeri dari kedua negara dalam beberapa pekan mendatang. Kami berharap juga akan membicarakan kemungkinan kunjungan pada tingkat menteri. Kami berharap juga akan membicarakan kemungkinan kunjungan pada tingkat menteri.
Apa saja proyek kemitraan bilateral di Indonesia yang telah disepakati kedua negara pada tahun ini?
Pemerintah baru Belanda telah memutuskan untuk bekerja sama dengan Indonesia dengan terfokus pada sektor-sektor tertentu. Di sektor hukum, misalnya, telah disepakati kerjasama pengembangan kapasitas dan kontak di tingkat Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung.
Kerjasama juga dilakukan pada sektor ketahanan pangan dan pertanian yang telah dirintis sejak lama. Kemitraan kedua negara juga akan berlanjut di sektor pendidikan tinggi, dengan melibatkan program bea siswa.
Di bidang manajemen air, kami berkeinginan untuk menularkan keahlian di beberapa kota di Indonesia. Pengolahan sumber daya air ini terkait dengan isu perubahan iklim.
Baru-baru ini pemerintah Rotterdam mengadakan kerjasama dengan pemerintah DKI Jakarta untuk program penanggulangan banjir. Kerjasama serupa juga diterapkan di Semarang.
Jadi ada begitu banyak sektor kerjasama yang digarap kedua negara.
Bagaimana dengan kerjasama ekonomi dan perdagangan. Apakah Anda melihat peningkatan kendati kedua negara baru saja merasakan dampak krisis keuangan global pada 2008?
Saya mencatat satu hal, ternyata ekonomi Indonesia berjalan dengan sangat baik kendati banyak negara mengalami krisis keuangan. Pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 6,1 persen pada tahun lalu merupakan pertanda positif saat yang lain masih berjuang memulihkan diri.
Satu hal lain adalah volume perdagangan kedua negara saat ini lebih menguntungkan Indonesia. Ekspor Belanda ke Indonesia sebesar 450 juta euro, sedangkan kami mengimpor sebesar 1,9 miliar euro dari negeri Anda. Sebagian besar impor dari Indonesia itu melalui kota pelabuhan Rotterdam.
Jadi ini merupakan pekerjaan rumah bagi kami bagaimana bisa mendongkrak nilai ekspor kami ke Indonesia sehingga menjadi berimbang. Tapi kami juga senang dengan perkembangan ekonomi Indonesia.
Belanda masuk dalam kelompok sepuluh besar investor asing terkemuka di Indonesia. Banyak perusahaan Belanda berskala kecil dan menengah berbisnis dengan Indonesia. Nilainya antara $600 juta hingga US$1,2 miliar. Kami juga tercatat sebagai investor asing terbesar keempat di ASEAN.
Apa yang harus dibenahi Indonesia dalam menggaet lebih banyak lagi investasi Belanda?
Ada hal yang perlu dibenahi, yaitu harus ada peraturan investasi yang konsisten. Itu yang saat ini tidak ada. Kami justru melihat adanya peraturan-peraturan yang tumpang tindih. Ini membuat para investor asing sulit untuk memahami situasi dan melakukan ekspektasi bisnis mereka.
Satu hal yang patut diperhatian adalah banyak investor asing yang sudah aktif di Indonesia namun harus menghadapi perundang-undangan yang baru yang bertentangan dengan kesepakatan sebelumnya saat memasuki pasar di Indonesia. Itu akhirnya mengganggu fokus mereka.
Ada dua peraturan yang selayaknya patut diperhatikan. Pertama undang-undang horltikultura, dimana persentase kepemilikan [properti] oleh asing tiba-tiba diturunkan menjadi 30 persen.
Selain itu kami juga menyoroti peraturan mengenai jasa pos. Situasi yang sama pun terjadi. Perusahaan asing datang, menanam modal dalam jumlah besar dengan mengacu kepada peraturan sebelumnya. Namun, peraturan itu akhirnya berubah tanpa memperhatikan kesepakatan sebelumnya [dengan investor asing].
Bila dua peraturan itu diperbaiki, maka situasi akan menjadi lebih baik.
Mengenai isu sepakbola, Indonesia kini mati-matian mencari talenta-talenta berbakat untuk memperkuat tim nasional yang miskin prestasi. Ternyata banyak anak-anak muda keturunan Indonesia yang bermain sepakbola di Belanda dan memiliki bakat yang baik. Apakah pemerintah Belanda ikut membantu Indonesia untuk mendongkrak kualitas sepakbola?
Saya lihat Indonesia bermain baik pada Kejuaraan Piala ASEAN pada tahun lalu, dan tampil sebagai juara kedua. Sebenarnya prestasi Indonesia itu tidak jauh beda dengan Belanda dalam beberapa tahun terakhir. Tim kami beberapa kali tampil di final, seperti pada Piala Dunia 2010, namun tidak pernah menjadi juara.
Namun saya melihat ada minat besar dari Belanda atas sepakbola di Indonesia. Ada juga pemain dari Belanda yang sudah bermain di kompetisi Indonesia. Misalnya Irfan Bachdim. Dalam perjalanan pulang ke rumah, saya melihat foto dia dalam suatu papan iklan yang besar untuk suatu produk.
Saya yakin juga ada pemain lain yang berkiprah di Belanda. Begitu pula dengan pelatih dari Belanda yang melatih di Indonesia. Mengingat sudah banyak individu dari Belanda yang berminat atas sepakbola Indonesia, sehingga saya tidak melihat ada ruang bagi pemerintah untuk berpartisipasi meningkatkan kualitas sepakbola di Indonesia. Lagipula sudah ada kontak yang baik antara kedua federasi sepakbola sehingga tidak perlu lagi ada peran pemerintah.
Namun saya pribadi juga terkesan dengan banyaknya pemain keturunan Indonesia yang bermain di Belanda maupun yang pernah membela tim nasional kami, seperti Giovanni van Bronckhorst, Sonny Silooy, dan Simon Tahamata.
• VIVAnews